SERI MENYIAPKAN DESA (Bagian I) :
Dari hasil Diskusi Publik dan Workshop “Menyiapkan Desa dalam Agenda Pembaharuan Desa” di Gardenia Resort 25-26 September 2014 diselenggarakan oleh Koalisi NGO untuk Kerja Pembaharuan Desa.
AGENDAKAN PENYUSUNAN DAFTAR KEWENANGAN DESA
“Mestinya semua pemerintah kabupaten segera melakukan agenda penyusunan daftar kewenangan desa sesuai amanat UU Desa (pasal 37) yang akan menjadi pijakan dasar bagi desa melakukan penyusunan agenda Perubahan/Revisi RPJMDesa (penyesuaian), RKPDesa Tahunan, dan APBDesa Tahun 2015 yang sudah di depan mata”
UU Desa akan efektif berlaku dan diimplementasikan mulai tahun 2015, berarti sisa waktu ke depan tinggal kurang lebih 3 bulan saja, sementara banyak hal-hal menyangkut desa yang perlu disiapkan dan diatur agar agenda pembaharuan desa dapat benar-benar berjalan optimal dan implementasinya tidak menimbulkan banyak kendala dan masalah yang berdampak terhambatnya proses-proses pelaksanaan dari kewenangan yang telah diakui dan diserahkan kepada pemerintahan desa.
Salah satu dari sekian banyak yang mesti segera mungkin dipersiapkan terutama Pemerintah Kabupaten yakni dimulai dengan melakukan proses penyusunan daftar kewenangan Desa sebagaimana yang diatur pula dalam UU Desa dan PP 43 2014 jo PP 60 /2014. Mengapa ?
Karena pada prinsipnya UU Desa telah memberikan sebuah pengakuan terhadap Otonomi Desa untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, yang disebut antara lain sebagai kewenangan asal usul, kewenangan local berskala desa, kewenangan yang ditugaskan dan kewenangan lain-lain yang diserahkan baik oleh pemerintah pusat, pemprov, pemkab kepada desa. Kewenangan-kewenangan inilah yang menjadi dasar substansi utama yang harus diatur segera untuk dasar pijakan bagi pemerintah desa dan warga nya mengimplementasikan UU Desa berikut peraturan pelaksanaanya. Maka langkah paling pertama oleh seluruh pemerintah kabupaten segera mengagendakan proses penyusunan daftar mana dan apa saja yang menjadi kewenangan desa , yang nanti produknya diatur dalam sebuah Peraturan Bupati.
Dengan kata lain, pengaturan penyusunan daftar kewenangan desa ini adalah menjadi bagian perhuluan nya dari implementasi UU Desa itu sendiri. Dalam ketentuan pasal 34 PP 43/2014 hanya menegaskan bahwa kewenangan berdasarkan hak asal usul paling sedikit terdiri dari : Sistem organisasi masyarakat desa, Pembinaan Kelembagaan masyarakat, Pembinaan lembaga dan hukum adat, pengelolaan tanah kas desa, dan pengembangan peran masyarakat desa. Sementara kewenangan lokal berskala desa paling sedikit terdiri dari : Pengelolaan tambatan perahu, Pengelolaan Pasar Desa, Pengelolaan tempat pemandian umum, Pengelolaan jaringan irigasi, Pengelolaan lingkungan permukiman masyarakat desa, Pembinaan Kesehatan masyarakat dan pengelolaan Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu), Pengembangan dan Pembinaan Sanggar Seni dan Belajar, Pengelolaan Perpustakaan Desa dan Taman Bacaan, Pengelolaan Embung Desa, Pengelolaan Air Minum Berskala Desa, dan Pembuatan Jalan Desa antar Permukiman ke wilayah pertanian.
Karena disitu hanya disebutkan dengan kalimat “paling sedikit” sebagai gambaran dari kewenangan asal usul dan kewenangan local berskala desa, maka tentu tidak terbatas hanya yang disebutkan dan diatur disitu, sehingga kewenangan yang ditentukan masih bisa bertambah diluar dari ketentuan itu, sebab dalam perkembangannya tentu disesuaikan dengan situasi, kondisi dan kebutuhan dari warga desa sendiri serta dengan mempertimbangkan kapasitas Sumber Daya Manusia yang tersedia di desa termasuk aspek standar kerja dan teknologi yang digunakan untuk sebuah kegiatan akan mempengaruhi penetapan itu.
Maksud dari penyusunan daftar kewenangan ini tidak hanya dalam kaitan dengan proses pelaksanaan pembangunan (kegiatan fisik dan non fisik) saja dari APBDesa, melainkan dalam kaitan untuk menentukan mana dan apa saja yang akan menjadi Aset/Kekayaan Desa baik yang telah ada sebelumnya (yang telah terbangun melalui sumber APBN Pusat, APBD Kabupaten, dan ADD) maupun yang akan diprogramkan dalam kegiatan melalui APB Desa yang akan datang, sehingga secara otomatis juga akan menjadi tambahan sumber dari Pendapatan Asli Desa dan dikelola langsung oleh Pemerintah Desa.
Bagaimana jika yang telah ada sebelumnya masih berstatus Aset Pemkab atau Aset Pempus yang dihibahkan ke Pemkab ? Melalui penyusunan daftar kewenangan inilah kemudian Pemkab nantinya segera menindaklanjutinya melalui agenda Hibah dan Penyerahan Aset-aset itu dari Pemkab ke Pemerintah Desa.
Pemahaman terhadap Daftar Kewenangan Desa ini juga terkait erat dengan Proses Pelayanan Administrasi Perijinan untuk kegiatan-kegiatan ekonomi atau investasi yang masuk dan berada di wilayah desa bersangkutan sehingga kegiatan itu harus diketahui dan atau mendapat persetujuan/rekomendasi dari Pemerintah Desa meskipun perijinan itu dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten, Provinsi, atau Pusat, sebagai contoh misalnya salah satunya dalam pelayanan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) yang dikeluarkan Pemkab terhadap seluruh bangunan-bangunan yang didirikan baik bangunan rumah-rumah, ruko, rukan, gudang, pabrik dan sebagainya, tentu penerbitan IMB yang ada di wilayah suatu desa harus juga didasarkan adanya surat rekomendasi dari Pemerintah Desa, karena setiap bangunan tentu memiliki dampak terhadap problem lingkungan dan sosial di desa, sehingga untuk ini membutuhkan koordinasi dengan pihak pemerintah desa agar jika ada persoalan yang berpotensi muncul sejak awal desa telah dilibatkan dalam proses perijinannya. Selain itu rekomendasi dari pemerintah desa bisa menjadi peluang pemasukan untuk PADesa yang ditetapkan dengan Perdes secara resmi. Meski kewenangan IMB memang di Pemkab namun tidak bisa mengabaikan keberadaan Pemerintah Desa yang wilayahnya akan didirikan bangunan-bangunan, karena penerima dampak langsung baik sosial dan lingkungan adalah warga di Desa tersebut. Tidak masuk akal dan suatu hal yang aneh jika misalnya pihak Pemerintah Desa sama sekali tidak tahu sebuah rencana pendirian bangunan-bangunan di wilayah desa baik siapa pihak yang mendirikan maupun, berapa banyak, luasnya serta untuk apa maksud dan tujuan didirikan bangunan itu kemudian tiba-tiba didirikan, ini bisa menjadi pemicu persoalan warga jika pendirian bangunan itu mengusik dan menggangu aspek lingkungan dan sosial masyarakat misalnya. Makah hal-hal ini juga harus menjadi item pembahasan dan inventarisasi dalam agenda penyusunan daftar kewenangan desa dimaksud, termasuk berbagai perijinan lainnya misalnya Ijin Gangguan, Tanda Daftar Perusahaan, SIUP, Ijin galian C (batu atau pasir), Rekomendasi/Ijin Amdal dan banyak lagi perijinan lainnya.
Maka perlunya pemkab bersama-sama seluruh kepala desa menyusun, menginventarisir, membahas, dan mengidentifikasi apa dan mana saja yang akan dimasukkan ke dalam daftar kewenangan desa yang tidak hanya terbatas pada apa yang disebutkan dalam pasal 34 itu, hal ini untuk menghindari dan mengantisipasi celah persoalan-persoalan yang berpotensi muncul baik persoalan lingkungan, sosial, bahkan berujung ke celah penyimpangan dalam pengelolaan keuangan dan aset desa baik dalam proses perencanaan, penganggaran, pelaksanaan kegiatan pembangunan, pelayanan administrasi perijinan, pengelolaan aset/kekayaan, pengelolaan sumber pendapatan dari Pendapatan Asli Desa.
Selain itu dikhawatirkan seluruh alur proses mulai dari penyusunan Revisi RPJMDesa yang diteruskan dengan agenda Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa untuk menyusun daftar Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPDesa) Tahunan, dilanjutkan dengan agenda Pengajuan dan Pembahasan Rancangan APBDesa untuk ditetapkan menjadi APBDesa oleh BPD dan Kepala Desa akan sangat terkendala dan mengalami keterlambatan penetapan dari batas waktu yang diharuskan pada akhir Tahun. Sementara saat ini sudah tersisa 3 bulan lagi sampai akhir tahun.
Revisi RPJM Desa-Desa
Seluruh desa-desa perlu dan harus melakukan revisi RPJMDesa karena bagaimanapun RPJMDesa yang sebelumnya belum didasarkan pada substansi kewenangan desa dan prinsip-prinsip otonomi desa sebagaimana dalam UU Desa ini, dan banyak substansi pengaturan yang belum pernah termuat dalam RPJMDesa yang sebelumnya, misalkan tentang pengaturan Sistem Informasi Desa, pengaturan tentang BUMDesa, penegasan prinsip keadilan gender (partisipasi dan representasi perempuan) di desa, pengaturan Tata kelola Ruang Desa, dan lainnya.
Kita memaklumi hampir sebagian besar pula RPJMDesa sebelumnya disusun dan dibuat tanpa melalui proses Musyawarah Desa yang benar-benar disampaikan dan dibahas bersama warga masyarakat desa melalui perwakilannya, dan RPJMDesa sebelumnya diperlukan sebagai prasyarat untuk dapat diikutsertakan menjadi sasaran subyek dan obyek program PNPM Mandiri Pedesaan, sehingga lebih banyak terkesan proformal, seadanya dan belum memiliki kekuatan legitimasi yang kokoh.
Revisi RPJMDesa menjadi dasar pijakan menentukan daftar program kegiatan yang diaspirasikan warga dalam RKPDesa Tahunan yang menjelma menjadi APBDesa untuk dijalankan dan direalisasikan oleh Kepala Desa dan perangkat desa dalam melaksanakan pembangunan desa, pemberdayaan masyarakat desa, dan penyelenggaraan pemerintahan desa.
Penyusunan Daftar Kewenangan Desa ke dalam Peraturan Bupati akan terkait langsung dengan kelancaran dalam proses Tata Kelola Keuangan dan Aset/Kekayaan Desa yang harus transparan dan dapat dipertanggungjawabkan (akuntabel). Dari mulai Perencanaan, Penganggaran, Pelaksanaan Kegiatan, Penatausahaan (administrasi), Pelaporan, sampai ke Pertanggungjawaban dari kewenangan yang dijalankan oleh pemerintah desa.
Menyiapkan SOP Birokrasi Lebih Efektif
Selain kesiapan diatas, pemerintah kabupaten perlu menyiapkan diri dengan merancang bangun suatu Standar Operasional Prosedur (SOP) yang lebih memberikan percepatan dan kelancaran dalam proses-proses Tata Kelola Keuangan dan Aset Desa, mulai dari kelancaran saat Evaluasi APBDesa, percepatan dan kelancaran dalam penyampaian Perbup tentang Tata Cara Pembagian dan Penetapan Besaran Dana Desa-Desa di kabupaten tersebut ke Pemerintah Pusat (melalui kementrian desa, kemendagri, kementrian keuangan) agar anggaran Dana Desa dari pusat tidak terlalu lama terlambat dicairkan untuk masuk ke rekening Kas Umum Pemkab, SOP untuk proses pencairan ke rekening Kas Umum Desa-Desa yang dilakukan secara bertahap sesuai ketentuan 40% paling lambat Minggu ke II April, 40% selambatnya minggu ke II Agustus, dan 20% selambatnya minggu ke II November pada tahun anggaran berjalan (pasal 16 PP 60/2014). Proses ini yang cukup rentan jika mengalami keterlambatan karena akan berdampak langsung pada proses menjalankan pemerintahan desa, realisasi pelaksanaan dari APBDesa akan terkendala menyebabkan daya serap anggaran akan rendah sehingga SILPA akan menjadi besar. Meski SILPA bisa dimasukan kembali untuk APBDesa tahun berikutnya, namun efeknya proses pembangunan di desa menjadi sangat lambat, seharusnya program dan kegiatan sangat mendesak dibutuhkan untuk dikerjakan dan direalisasikan tahun ini mau tak mau tertunda di tahun berikutnya. Kerentanan lebih jauh bisa menimbulkan akibat ekses-ekses hukum terkait dengan realisasi APBDesa dalam pelaksanaan program kegiatan baik fisik dan non fisik , baik belanja langsung maupun tidak langsung, agar tidak membuka celah terjadinya penyimpangan dan penyalahgunaan dalam penggunaan keuangan desa untuk pemerintahan, pembangunan, dan pemberdayaan. Apalagi di desa-desa justru tingkat kecurigaan dan politik lokal nya jauh lebih tajam, sementara warga desa tentu banyak yang tidak memahami hal ihwal teknis terkait proses penyaluran keuangan dari rekening kas pemkab ke rekening kas desa yang membutuhkan proses di internal birokrasi pemkab (dari dan antara beberapa SKPD terkait). Seringkali keterlambatan proses penyaluran uang ke kas desa menyebabkan situasi kurang kondusif di desa, wajar saja karena dalam anggapan kebanyakan warga desa ketika APBDesa telah ditetapkan dan kegiatan sudah siap dilaksanakan dana uang nya telah tersedia di kas desa.
Jadi menyiapkan desa sebenarnya tidak hanya ditujukan ke aparatur desa saja, juga sangat strategis ke aparat birokrasi di pemerintah kabupaten mesti menyiapkan langkah untuk menjalankan seluruh proses yang diperintahkan dan diatur dalam UU Desa itu bisa berjalan lancar , karena disadari seringkali proses di internal birokrasi sendiri yang cukup panjang dan menjadi ruwet akibat perbedaan persepsi antar SKPD sendiri, terutama dan antara SKPD di Badan Pemdes, Kecamatan, Sekretariat (Kabag Hukum, Asisten, Sekda), SKPD Keuangan. Perlu cara pandang dan persepsi yang benar agar seluruh jajaran birokrasi di SKPD terkait memahami dan menyadari bahwa Anggaran Dana Desa dari Pemerintah itu adalah HAK Desa dan bukanlah BANTUAN ke Desa sesuai amanat UU Desa. Sehingga hal-hal yang bukan prinsip dan sekadar soal remeh temeh saja (misalnya soal titik koma dalam tata naskah dinas dan lain-lain) tak bisa dan tak boleh menjadi alasan untuk menunda atau menghambat proses penyaluran uang itu ke rekening kas Desa-desa jika sudah disampaikan APBDesa nya ke pemkab, dan dana desa dari pusat sudah masuk ke rekening kas umum pemkab untuk disalurkan sesuai tahapan ke rekening kas pemerintah desa.
Akhirnya semua pihak baik pemerintah kabupaten dan pemerintah desa melalui perangkat birokrasi masing-masing mesti berproses lebih cepat untuk segera menyiapkan dengan langkah-langkah diatas karena tahun 2015 sudah di depan mata, jika tidak segera disiapkan khawatir implementasi akan lambat bahkan jalan di tempat dan berdampak ekses kurang baik serta menghilangkan peluang dan kesempatan untuk mempercepat kemandirian desa dan peningkatan kualitas hidup rakyat luas di desa-desa.
Penulis : Bung Muda Mahendra, Mantan Bupati Kabupaten Kubu Raya Provinsi Kalimantan Barat dan Pendiri Institut Indonesia Moeda
·
EmoticonEmoticon