Seri Menyiapkan Desa (Bagian 3)
PROAKTIF DESAIN PROGRAM PENDAMPINGAN DESA
“Mengingat jumlah dan letak geografis desa-desa yang tersebar luas, Pemkab tentu sulit untuk melakukan supervisi yang intensif dan rutin hari ke hari, maka dibutuhkan tenaga pendamping desa dari pemudi pemuda terdidik (sarjana) untuk dilatih dan diberi peluang turut terlibat membantu kelancaran sekaligus meminimalisir resiko kekeliruan atau penyimpangan dalam tata kelola pemerintahan, keuangan dan aset, serta tata kelola SDA di desa”
UU Desa berikut peraturan pelaksanaanya telah membuka peluang dan harapan besar untuk mempercepat upaya pengurangan kemiskinan dan pengangguran demi perbaikan kualitas hidup dan memperkecil kesenjangan antara pedesaan dan perkotaan agar lebih berkeadilan. Di sisi lain, kehadiran UU Desa juga membawa konsekuensi dan tantangan yang tidak sedikit untuk mengimplementasikannya secara optimal. Namun bagaimanapun juga seluruh pihak terutama aparatur pemerintah desa bersama seluruh pemangku kepentingan yang ada di desa-desa harus berupaya bekerja keras dan berjibaku menggerakkan semangat warganya untuk mengawal agenda pembaharuan desa ini jangan sampai ke depan justru banyak memunculkan persoalan baru yang tidak diharapkan. Karena kewenangan desa yang telah terlegitimasi melalui UU Desa ini tentu memiliki konsekuensi harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab. Maka penguatan kapasitas dan orientasi yang fokus pada pelayanan publik dari aparatur desa menjadi sebuah keniscayaan, dan terpenting ada kesadaran kolektif dari seluruh aparatur desa untuk menyiapkan diri memperkuat kompetensi dan menggeser pola pikir serta pendekatan dalam tata kelola penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat. Namun tentu semua itu butuh proses waktu dan tidak bisa serta merta sesuai harapan, setidaknya harus melalui proses sambil berjalan (learning by doing) melakukan perbaikan demi perbaikan dalam menjalankan tata kelolanya.
Tantangan Implementasi UU Desa
Dalam konteks kewenangan desa yang semakin mendapat pengakuan melalui UU Desa untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri, namun kita sadari semua tidaklah bisa langsung berjalan lancar dan optimal, apalagi ketika UU Desa dibahas dan disahkan oleh Pemerintah bersama DPR-RI gaung isunya terfokus pada jumlah anggaran dana desa yang cukup besar, yaitu gaung dana 1 Milyar tiap desa, padahal substansi UU Desa tak hanya sebatas pada soal besaran uang yang akan mengalir ke kas desa melainkan banyak substansi lain yang menjadi prinsip dan aspek lain untuk mengejar keadilan sosial, ekonomi, budaya, dan lainnya. Namun semua itu wajar, disebabkan selama ini desa-desa seolah belum sebagai Subyek pembangunan, sehingga semua proses perencanaan dan kebutuhan prioritas desa hanya untuk diusulkan ke pemerintah supra desa sedangkan pemerintah desa tidak punya kewenangan memutuskan sendiri dan mengatur sendiri, jadi desa seolah hanya menunggu saja apa yang akan dibangun di desa-desa. Kalaupun dalam 7 tahun ini ada dialokasikan ADD namun jumlahnya masih kecil dan hanya mampu membiayai sangat sedikit item-item belanja desa untuk penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pemberdayaan masyarakat, sehingga sangat jauh dengan kebutuhan dasar masyarakat yang mendesak untuk bisa direalisasikan. Meski saat ini belum diketahui pasti berapa anggaran dana desa yang akan disalurkan pada tahun 2015 mendatang mengingat kondisi keuangan negara (APBN) yang sedang mengalami tekanan berat karena subsidi BBM semakin besar.
Namun terlepas dari hal itu, bercermin dari perjalanan empiris ketika dimulainya era Otonomi Daerah sejak 1999 lalu, tak terelakkan munculnya euphoria dari elit-elit di daerah yang kemudian berdampak banyak persoalan hukum yang muncul, baik di lingkungan eksekutif maupun legislatif di berbagai kabupaten/kota dan provinsi di Indonesia, kondisi ini tentu juga menjadi salah satu faktor penghambat serius bagi kelancaran pembangunan di daerah-daerah, bahkan seringkali pula berdampak pada situasi sosial dan politik yang kurang kondusif di daerah-daerah.
Lalu bagaimana dengan dampak implementasi kewenangan desa dalam UU Desa terhadap potensi penyalahgunaan dan persoalan hukum ke depan ? mengingat perjalanan otonomi daerah untuk pemerintah supra desa (kabupaten, provinsi) saja yang telah memiliki birokrasi terlatih dari kalangan PNS dan tentu sudah memiliki kompetensi lebih daripada aparatur desa ternyata di berbagai daerah banyak pula terjerat persoalan hukum, lalu bagaimana dengan desa-desa yang jumlahnya se-Indonesia 73 ribu saat ini apalagi dengan wilayah desa yang menyebar luas bahkan sampai ke pelosok-pelosok pesisir dan pedalaman sehingga sangat sulit untuk melakukan pembinaan dan supervisi sehari-harinya, bagaimana langkah solusi untuk meminimalisirnya ?
Langkah Proaktif Rekruitmen Tenaga Pendamping Desa
Karena itulah UU Desa dan PP 43/2014 telah mengatur terkait pentingnya peran Tenaga Pendamping Desa yang profesional (pasal 128 – 131), meskipun sebenarnya seluruh jajaran pemkab melalui SKPD/Dinas secara otomatis berperan sebagai pendamping desa, namun mengingat desa-desa itu wilayahnya menyebar dan sangat sulit untuk melakukan pendampingan secara intensif dan efektif, maka lebih dibutuhkan Tenaga Pendamping Desa Profesional yang bisa melakukan pendampingan sehari-hari bagi aparatur pemerintahan desa dalam menjalankan tugas dan kewenangannya, setidaknya melalui kehadiran tenaga pendamping desa diharapkan bisa mengawal langsung dan meminimalisir kekeliruan yang fatal bagi aparatur desa, terutama namun tidak terbatas hanya soal alur proses dan kebijakan dalam tata kelola keuangan dan aset desa serta tata kelola SDA. Dalam PP 43/20014 tenaga pendamping desa disyaratkan memiliki kapasitas yang mumpuni, dan melalui sertifikasi kompetensi dan kualifikasi tenaga pendamping.
Bagaimana pola mekanisme rekruitmen tenaga pendamping desa ke depan ?
Terkait hal ini memang belum ada kejelasan karena masih menunggu pengaturan selanjutnya yang akan langsung di bawah koordinasi kementrian pedesaan (menteri desa, daerah tertinggal dan transmigrasi) sebagai kementrian baru di kabinet saat ini bersama-sama kementrian dalam negeri.
Oleh karena itu pemerintah kabupaten sebaiknya bersikap proaktif dan tak hanya menunggu. Bagaimanapun pemerintah kabupaten berperan terdepan sebagai pembina yang bertanggung jawab untuk melakukan supervisi kepada desa-desa, apalagi perjalanan implementasi UU Desa ini secara langsung akan menjadi cerminan dan potret bagaimana tata kelola pemerintah kabupaten sendiri. Jika berjalan optimal maka otomatis akan berdampak pula percepatan capaian sasaran dan target pembangunan, sebaliknya jika tak optimal dan banyak muncul persoalan akan langsung berdampak pada lambatnya proses capaian sasaran pembangunan. Selain itu jika kita melihat ketersediaan tenaga pendamping desa sesuai dengan yang disyaratkan dalam ketentuan PP 43 itu tentu masih terbatas jumlahnya, karena pihak yang lebih siap dari sisi kompetensi untuk melakukan pendampingan yakni pelaku atau pegiat fasilitator dan pendamping PNPM Mandiri Pedesaan karena selama ini fokus menjalankan pendampingan kepada desa-desa. Akan tetapi jumlah fasilitator dan pendamping PNPM se Indonesia totalnya sekitar 12 ribu saja, sementara jumlah desa hampir 73 ribu, setidaknya tiap desa minimal 1 tenaga pendamping desa.
Maka solusinya tentu perlu langkah proaktif dan inisiatif dari Pemkab-Pemkab untu melakukan rekruitmen tenaga pendamping desa melalui SKPD Badan Pemdes sebagai SKPD yang tepat untuk mengelola program kegiatannya. Paling tidak minimal tamatan D-3 dan S-1 dan lebih diutamakan yang berasal dari daerah setempat (tidak mutlak). Program ini juga akan langsung berdampak positif karena akan memberdayakan banyak para sarjana lulusan D-3 dan S-1 asal kabupaten tersebut yang saat ini masih banyak juga yang belum mendapat peluang pekerjaan, paling tidak sarjana asal kecamatan atau desa setempat juga bisa kembali mengabdikan dirinya di kecamatan atau desa asalnya, sehingga akan mengurangi pengangguran terdidik yang semakin hari semakin besar kuantitasnya, seperti di kalbar saja misalnya tiap tahun ribuan sarjana lulus dari perguruan tinggi namun peluang aktifitas pekerjaan sektor formal sangat terbatas baik pegawai swasta apalagi PNS, banyak sarjana yang sebenarnya ingin kembali mengabdikan diri ke kampung asalnya namun terbentur kecilnya peluang kerja yang tersedia.
Meski demikian rekrutmen sarjana untuk menjadi tenaga pendamping desa tetap kedepankan syarat memiliki kompetensi dan ketrampilan dengan standar tertentu melalui pola pelatihan yang benar-benar fokus minimal pemahaman dan ketrampilan dasar untuk tata kelola administrasi, keuangan aset desa, dan tata kelola SDA, apalagi para sarjana sekarang hampir semua mampu gunakan IT karena tuntutan jaman, sehingga juga bisa mengawal upaya membangun sistem informasi desa berbasis IT baik menyusun dan input data base dan semua proses perencanaan sampai pelaporan dan pertanggungjawaban.
Maka harus diberikan terlebih dahulu pelatihan yang fokus (misalnya selama 1 bulan) sebelum diterjunkan melakukan pendampingan di desa tempat penugasannya dan sambil berjalan secara periodik setiap 3 bulan sekali perlu diberikan penguatan terus agar bisa lebih fokus, sekaligus sebagai bahan masukkan dan evaluasi terkait dengan segala kendala dan tantangan yang ditemukan untuk dicarikan solusinya, karena para tenaga pendamping desa itu juga ibarat kepanjangan tangan dari Pemkab untuk membantu desa-desa agar proses tata kelola pemerintahan bisa berjalan lancar dan meminimalisir penyimpangan ke depan baik karena kesengajaan ataupun kelalaian semata. Pemerintah Kabupaten tentu bisa menjalin kerjasama dengan pihak-pihak yang memiliki kompetensi dan integritas untuk memberikan pelatihan dan penguatan kompetensi dan ketrampilan bagi calon-calon tenaga pendamping desa itu nantinya.
Fasilitas untuk pendapatan dan tunjangan operasional setiap bulan tentu perlu disediakan anggarannya oleh pemkab yang bisa disalurkan melalui pos anggaran di Badan Pemdes, termasuk pula fasilitas kerja yang diperlukan. Untuk merancang program kegiatan ini pemkab perlu membuat aturan kebijakannya melalui penerbitan Peraturan Bupati tentang Tenaga Pendampingan Desa sebagai dasar dan payung hukum untuk dimuat menjadi program kegiatan di RKPD hingga mengalokasikan anggaran yang diperlukan tiap tahun dalam APBD Tahun depan. Jika kemudian untuk tenaga pendamping desa misalnya tahun berikutnya kelak (2016) diprogramkan oleh pemerintah pusat melalui kementrian pedesaan selaku pengelolanya maka pemerintah kabupaten tidak perlu kemudian menghapus program ini, namun cukup menyesuaikan setidaknya untuk pelatihan ketrampilan bagi tenaga pendamping desa secara periodik masih tetap dibutuhkan. Sebaliknya, pemerintah desa melalui kades dan perangkatnya perlu menyikapi langkah ini secara proaktif pula sebagai peluang positif dalam upaya meminimalisir dan meringankan beban resiko munculnya penyimpangan (problem hukum) karena kekeliruan baik sengaja maupun karena kelalaian sebagai akibat lemahnya supervisi dari pemerintah kabupaten, apalagi jika tanpa ada pendampingan secara intensif hari ke hari.
Salah satu kabupaten di Kalbar sebenarnya telah menjalankan Program Sarjana Pendamping Desa (SPD) sejak tahun 2010 yang dikelola oleh SKPD Bappeda dan sampai saat ini masih berjalan dan diikuti oleh para sarjana yang berasal dari berbagai kecamatan, meskipun tidak semua desa ditempatkan. Ibarat gayung bersambut, ternyata UU Desa dan PP nya sekarang mengatur itu, tinggal diteruskan saja tentu dengan berbagai penyesuaian termasuk SKPD yang mengelola digeser ke Badan Pemdes.
Terlepas dari itu, upaya proaktif untuk menyusun program pendampingan desa dengan memberdayakan putra putri terdidik (diutamakan namun bukan mutlak asal kabupaten bersangkutan) yang telah menyelesaikan studi di perguruan tinggi baik D-3 dan S-1 (semua disiplin ilmu) tentu menjadi ruang aktualisasi positif dan pembelajaran untuk mematangkan diri mereka dalam menghadapi, menganalisa, dan mencari solusi terhadap berbagai problem masyarakat di desa-desa sehingga kehadiran para sarjana tersebut sebagai generasi muda terdidik perlu diberi peluang untuk turut terlibat mengawal agenda pembaharuan desa yang diharapkan membawa kontribusi positif bagi perbaikan tata kelola desa-desa ke depan. Akhirnya, bagaimanapun secara konstitusional (sesuai prinsip desentralisasi dan otonomi daerah) pemerintah kabupaten sebagai pembina langsung yang memiliki peran (tanggung jawab) terdepan untuk mengupayakan agar proses tata kelola pemerintahan, pembangunan dan pemberdayaan masyarakat di desa-desa dapat berjalan lebih lancar dan optimal untuk mengejar sasaran percepatan pengurangan kemiskinan di desa-desa. Semoga.
Penulis : Bung Muda Mahendra, Mantan Bupati Kabupaten Kubu Raya dan Pendiri Institut Indonesia Moeda
EmoticonEmoticon